Etika Berlandaskan Sains dan Etika Tradisional

Dalam sebuah etika perkembangan lingkungan, apakah nilai-nilai yang berlandaskan sains menempati sebuah posisi istimewa sebagai kriteria yang dijadikan dasar penguji bagi nilai-nilai kultural tradisional? Karena nilai-nilai yang berlandaskan sains bersifat plural, dan nilai-nilai tradisional bahkan lebih-lebih lagi, maka tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan di atas.

Konflik: nilai-nilai tradisional yang ditantang oleh nilai-nilai berlandaskan sains
   
Pada kondisi yang ekstrim, nilai-nilai berbasis sains berbenturan dengan nilai-nilai yang dinyatakan dalam dongeng-dongeng. Sebagai contoh, tanaman Ginseng, Panax quinquefolius, banyak dicari dengan keyakinan bahwa akarnya dapat memperlama kejantanan pria dan vitalitas. Para orientalis sebelumnya telah memberantas ginseng Asia ini ketika pendeta Jesuit di Canada di awal 1700an menemukan tanaman Amerika tersebut. Banyak yang dikirim ke Asia, dan ginseng menjadi tanaman yang dielu-elukan. Sekarang setelah hampir punah, ginseng dijual di dekade terakhir dengan harga sekitar US$70 per pon akar. Bukti yang ada dari penelitian ilmiah menunjukkan bahwa bubuk akar yang diyakini berkhasiat medis hanya ada dalam cerita-cerita dongeng.

  
Seorang ahli biologi konservatif menilai ginseng dengan alasan yang sangat berbeda. Ini merupakan sebuah tanaman yang tidak lazim, anggota dari famili Araliceae, yang memiliki sedikit representatif di hutan-hutan Appalachian.
   
Perdagangan akar tanaman ini sekarang ini tidak lebih dari sekedar pemenuhan anggapan takhayul yang keliru – yang sangat disesalkan oleh para ahli biologi konservatif. Kepunahan nilai kebudayaan tradisional lebih disukai ketimbang punahnya tanaman ini. Cerita rakyat Cina meyakini bahwa mengeksploitasi ginseng tidak dibenarkan, dan inilah yang telah mengekang mereka sehingga tidak mengetahui kebenaran biologis tentang bagaimana mengapresiasi dunia yang mereka hidup di dalamnya.
   
Badak yang memiliki tanduk-tanduk besar sangat diidam-idamkan dan dipuji sebagai simbol kejantanan di Timur Tengah. Badak hitam, yang sebelumnya tersebar mulai dari Kenya sampai Afrika Selatan, sekarang ini semakin terkikis; tanduknya, yang seharga US$5.000 masing-masing, digergaji dan bangkainya dibiarkan membusuk. Tepat ketika orang-orang Eropa menilai hal ini sebagai sesuatu yang tidak adil, nilai-nilai tradisional yang tercela ini semestinya diganti dengan apresiasi berbasis ilmiah terhadap badak dalam ekosistemnya.
   
Akan tetapi, seringkali keinginan-keinginan manusia yang cukup serius menimbulkan konflik dengan kehidupan liar. Gorila gunung, Gorilla gorilla beringei, bertahan hidup pada sebuah populasi yang terdiri dari sekitar 240 hewan di Parc National des Colcans, sebuah taman nasional seluas 30.000 akre di Rwanda. Negara kecil ini memiliki kepadatan populasi tertinggi di Afrika, sebuah populasi yang diharapkan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada akhir abad ini. Sekitar 95 persen dari rakyatnya menggarap ladang-ladang kecil yang rata-rata seluas 2,5 akre per keluarga. Taman ini sebelumnya telah menyusut 40 persen. Eliminasi taman ini bisa mendukung mungkin 36.000 orang untuk mencari nafkah, hanya 25 persen dari pertumbuhan populasi selama satu tahun. Kebanyakan orang di Rwanda memiliki sedikit ketertarikan terhadap kehidupan liar; beberapa diantara mereka membunuh gorila untuk membuat tengkorak dan tangannya menjadi sovenir bagi para turis atau menggunakan bagian-bagian tubuh gorila seperti testikel, lidah, dan telinga sebagai kekuatan magis bagi musuh-musuh mereka.
   
Kasus ketiga ini semakin mempersulit argumen karena sekarang kita membaurkan antara cerita dongeng dengan kebutuhan pencarian nafkah yang mendasar. Seorang ahli biologi konservasi akan menyesalkan pembunuhan gorila hanya memanfaatkan organ-organnya, dan mengklaim bahwa takhayul ini harus diganti dengan sebuah apresiasi terhadap zoologi dan ekologi gorila. Tetapi konflik antara gorila dan para petani yang mencari nafkah semakin sulit.
   
Walaupun manusia berharga secara perorangan setelah mereka ada, seperti adanya tambahan anak dalam keluarga, namun manusia tambahan dalam sebuah masyarakat tidak selamanya merupakan sebuah perkembangan yang cocok. Perkembangan daerah  Rwandan menambah jumlah 240 gorila yang ada, dan menambah 36.000 manusia potensial. Rwanda sebelumnya memiliki terlalu banyak manusia, dan mengorbankan sebuah spesies untuk membuat tempat bagi pertumbuhan populasi seperempat tahun hanyalah dapat menunda masalah. Perkembangan seperti ini tidak lestari, dan bahkan jika teknologi bisa membuatnya terwujud, ini tidak akan cocok karena tidak akan melestarikan kehidupan dalam artian biotik. Gorila akan menjadi korban ketidakmampun manusia untuk mengontrol perkembangan kultural. Komunitas global akan menjadi lebih miskin.
   
Ini akan memberikan banyak efek negatif – erosi yang meningkat akibat pembersihan tanah gunung yang tinggi, kehilangan pendapatan dari kepariwisataan dan penjualan kebun binatang, kemungkinan yang diuntungkan hanya pembersihan hutan – dan lain-lain. Lebih daripada itu, menyelamatkan gorila akan melibatkan penekanan nilai-nilai tradisional Rwandan, cerita dongeng magis mereka, dan keinginan mereka untuk lahan pertanian yang baru.
   
Mereka yang mendukung perlindungan gorila akan khawatir terhadap kebaikan masyarakat Rwandan. Tetapi agenda terpendam mereka akan menyelamatkan gorila-gorila untuk alasan yang benar-benar berlandaskan sains. Gorila akan dipuji karena karakteristik biologisnya, kehidupan sosialnya yang sudah sangat berkembang, kecerdasarnnya, nilai intrinsiknya, dan sebagai sebuah objek kajian ilmiah yang bisa mengajari manusia tentang sesuai mengenai evolusi mereka sendiri.
   
Hutan-hutan tropis di Amazon terus terkikis seluas 5.000 mil persegi per tahun, dengan 125.000 mil persegi yang telah lenyap, untuk dijadikan sebagai lahan pertanian bagi orang-orang miskin. Mereka yang tidak memiliki lahan berpindah ke suatu tempat, seringkali untuk mengolah hutan baru, dan setelah itu siklus dimulai kembali.
   
Para ahli biogeografi meyakini bahwa daerah-daerah tertentu dalam hutan-hutan ini adalah tempat pengungsian, pusat-pusat historis bagi penyebaran tanaman dan hewan yang terus mengstok ulang area-area di sekitarnya. Karena kelihatannya tidak mungkin, untuk menyelamatkan semua hutan-hujan, para ahli biologi konservasi terkadang menyebutkan bahwa sangat penting untuk menyelamatkan tempat pengungsian pada hewan tersebut. Selama ini tidak dilakukan, sejarah alam daerah aliran sungai Amazon mungkin tidak akan pernah diketahui. Lebih jauh, jika ini adalah daerah-daerah penting untuk mengstok ulang flora dan fauna, maka setiap hutan tropis yang diselamatkan tanpa mereka akan tidak aman dan akan mengalami kehancuran.
   
Masalahnya adalah bagaimana. Bagaimana kita mengkombinasikan secara jujur dan berperikemanusiaan penilaian-penilaian berbasis biologis dengan penilaian-penilaian berbasis budaya? Apa peduli para petani tentang tempat pengungsian para hewan tersebut? Cara sederhana untuk melindungi hutan adalah dengan membiarkan hutan tersebut mempesona. Ini mungkin keliru, tetapi efektif. Kepentingan pengembangan komersial tidak mengetahui apa tentang refugia (lokasi pengungsian spesies hampir punah); mereka memandang hutan hanya sebagai sumber daya alam.
   
Ringkasnya, kita bisa membuat klaim bahwa perkembangan berdasarkan deforestasi tidak dapat lestari. Etika yang mendasarkan keputusannya terhadap klaim kelestarian tidak mengatakan apapun yang tidak tepat bagi penduduk setempat. Pada kenyataannya, nilai-nilai berbasis kultural yang berlawanan dengan pengetahuan berbasis sains tidak akan terbukti lestari dari waktu ke waktu. Jika tidak terlindungi, ginseng dan badak, seperti yang telah disebutkan di atas, akan segera menghilang, dan keinginan manusia tidak bisa dipenuhi dengan mengabaikan apa yang bisa didukung oleh ekosistem Afrika dan Appalachian. Mereka yang tidak peduli tentang bagaimana gorila gunung berspesialisasi terhadap ekosistem mereka, atau tentang refugia sebagai pusat perkembangan, kemungkinan akan memodifikasi ekosistem-ekosistem tersebut dengan ketidakpedulian. Masyarakat Brazil dan Rwandan akan kehilangan gorila mereka dan tanah mereka (serta semangat mereka), sehingga masalah-masalah sosial tetap tidak terpecahkan. Bahkan mereka yang hanya ingin mengeksploitasi sumber daya, cepat atau lambat, telah bersekutu dengan realitas-realitas ekosistem.
   
Lebih jauh, sains mengungkap ilusi-ilusi kita. Jika ginseng, badan, dan hutan Amazon (seperti telah diilustrasikan) tidak lagi dieksploitasi, para penjual akan kehilangan pendapatan mereka yang sebelumnya telah berkurang. Mereka tidak lagi memanfaatkan hewan-hewan tersebut untuk memenuhi keinginan-keinginan mereka yang sebatas khayalan-khayalan belaka. Tetapi, dalam artian yang lebih dalam, jika mereka yang terlibat benar-benar merasakan kebenaran dari apa yang mereka yakini, maka mereka akan menjadi orang yang lebih baik. Mereka akan memahami ginseng, badan, dan hutan Amazon sebagaimana adanya secara biologis. Lebih banyak kebanaran tentang kehidupan yang baik di Bumi pasti akan menjadi sebuah perkembangan yang autentik.
   
Para petani Brazil dan Rwandan yang tidak memiliki lahan memiliki ilusi tentang apa yang dijanjikan masa depan, dalam hal apa yang akan didukung oleh tanah dan masyarakat mereka. Penghilangan ilusi-ilusi seperti ini akan menyakitkan, tetapi tidak berbahaya. Peduli secara moral kepada orang-orang ini adalah mengajak mereka untuk mengetahui bahwa kebenaran tentang diri mereka, masyarakat mereka, dan ilusi mereka, serta tentang flora dan fauna di sekitar mereka.
Saling-melengkapi: Nilai-nilai tradisional yang ditinjau ulang dengan rambu-rambu sains
   
Mari kita meninjau keyakinan tentang karma dan reinkarnasi, yang banyak terdapat dalam agama-agama Timur. Karma adalah keyakinan tentang persistensi nilai moral, yang dianggap terdapat secara tersembunyi sebagai penentu dalam kehidupan hewan dan manusia. Hewan, dengan karya yang kurang baik dibanding manusia sebenarnya adalah makhluk yang dulunya pernah hidup dan bisa hidup kembali sebagai manusia, sehingga memiliki nilai yang tinggi. Semua kehidupan diwariskan dalam keluarga. Daisaku Ikeda, seorang Buda Jepang sangat tertarik dalam konservasi hayati, dia mengatakan bahwa doktrin karma dan reinkarnasi membuat semua makhluk hidup memiliki “hubungan darah”. Firman Buda yang pertama adalah bahwa seseorang tidak boleh membahayakan benda-benda hidup, sehingga seseorang harus mempraktikkan penghormatan untuk semua kehidupan.
   
Seorang ahli-biologi konservasi akan bingung apakah keyakinan orientalis merupakan kawan atau kah lawan. Pada satu sisi ini tampaknya melengkapi nilai-nilai yang berbasis biologis. Penganut Darwinisme menemukan bukti dalam evolusi bahwa kita semua memiliki hubungan darah.  Jika para Buddha bisa mendapatkan keyakinan dari sumber agama, maka ilmu Barat dan metafisika Timur akan saling menguatkan satu sama lain. Penghormatan terhadap kehidupan, walaupun sebuah perasaan yang dianggap hampir universal oleh para ahli biologi konservasi, namun agak sulit untuk didapatkan dari biologi murni; seleksi alam merupakan sebuah perjuangan kompetitif, dan kelangsungan hidup memerlukan kematian-kematian dini dari kebanyakan individu dan telah menghasilkan kepunahan dari 98 persen dari semua spesies yang hidup sebelumnya. Dengan berasal dari agama, sebuah alasan untuk menilai kehidupan hanya dapat meningkatkan konservasi hayati.
   
Tetapi para ahli biologi konservasi tidak benar-benar tertarik dalam menilai kehidupan zoologis secara metafisika seperti jiwa manusia. Para ahli ahli biologi konservasi ingin menilai hewan seperti ular, kelelawar, dan cacing sebagai produk kausal dari faktor-faktor evolusioner, bukan sebagai masalah moral tak terpecahkan dari kehidupan manusia. Hewan-hewan perlu diberi nilai secara intrinsik sebagaimana adanya.
   
Para ahli etika lingkungan dan ahli biologi konservasi menyesali hilangnya informasi penting ketika spesies menjadi punah; mereka khawatir tentang matinya proses spesiasi yang telah berkembang pesat di India dan Afrika. Kekhawatiran tentang stabilitas dan keseimbangan, fleksibilitas, dan keanekaragaman dalam ekosistem. Mereka menginginkan sebuah sistem pemberian nilai yang menghasilkan respek terhadap untuk bentuk-bentuk kehidupan asing. Mereka ingin menghargai gorila karena mereka adalah spesies yang dekat dengan manusia, tetapi mereka juga ingin menghargai badak dalam integritas liar sebagai bentuk kehidupan selain pengetahuan simfatetik.
   
Sebagai contoh lain, ketika para ekologis berbicara tentang keseimbangan, siklus hidrologis, siklus gizi, piramida makanan, homeostasis, siklus ulang, sumber daya terbaharukan, dan sejenisnya, mereka sering mendapatkan persetujuan dari para orientalis. Teori ekologi Barat tampaknya cocok dengan hukum Timur berupa saling ketergantungan biner, yin dan yang. Cara Tao, dan konsep yang dinyatakan dalam Tao Te Ching, “dalam Tao satu-satunya gerakan adalah kembali, paralel dengan wawasan ilmiah yang baru-baru ini dicapai dalam teori ekologis.
   
Oposisi-oposisi berpasangan terdapat secara impresif di alam, dan banyak sekarang ini yang ditemukan oleh para penganut Tao Cina. Ada pergantian musim panas dan dingin, kemarau dan hujan, matahari dan bulan, basah dan kering, tumbuhan dan layu, subur dan menyusut. Ada gunung dan lembah, laki-laki dan perempuan. Para ahli meteorologi menemukan pertentangan antara panas dan dingin. Ekosistem mengalami suksesi mulai dari komunitas perintis sampai komunitas klimaks, yang memulai lagi setelah terjadinya kebakaran, banjir, dan penyakit. Para ahli biologi konservasi ingin melindungi irama-irama alami seperti para penganut Tao.
   
Tentunya, para ilmuwan memiliki pelajaran untuk belajari dari Timur. Taoisme merupakan sebuah model perkembangan autentik. Benar bagi alam dan alam manusia, taoisme memadukan yin dan yang dalam kondisinya yang tetap dan lestari. Pengajaran tentang Tao bukan semata-mata deskripsi tentang cara kerja biosistem; ini merupakan sebuah resep untuk perilaku manusia. Huston Smith, yang lahir dan dibesarkan di Cina dan lama tinggal bersama filsuf agamais di Massachusetts Institute of Technology, menemukan akar krisis keonomi dalam “sisi yang”  dari ilmu Barat. Barat perlu memerlukan sebuah pemulihan feminin; kita perlu mengalir dengan alam untuk secara lebih baik membiasakan diri kita dengan irama-iramanya. Ajaran Tao, deskriptif alam, menjadi resep bagi perilaku manusia.
   
Untuk merencanakan perkembangan manusia yang otentik, kita perlu mengetahui tentang pasar-pasar dunia yang memaksa para penduduk asli untuk mengubah kebudayaan tradisional mereka, untuk mengetahui apa yang potensial bagi pendapatan turis jika kehidupan liar dipelihara sebagai gaya tarik bagi pengunjung. Kita memerlukan penelitian-penelitian tentang kadar polusi dan laju erosi tanah yang dapat ditolerir. Kita mungkin gagal untuk mengeksploitasi faktor-faktor komersial yang mungkin untuk pemilihan, yang disamarkan oleh keyakinan tentang adanya kekuatan dari alam yang spontan. Taoisme bisa memiliki kontribusi sendiri, tetapi ini bukan jalur pasti bagi konservasi alam atau perkembangan manusia yang otentik.
   
Sebuah nilai dari budaya yang berbasis metafisika, yang bertentangan dengan nilai-nilai berbasis sains tidak akan lestari secara intelektual dari waktu ke waktu. Sehingga tidak akan berfungsi secara sosial. Agar dapat terus bertahan, nilai-nilai harus dibuat saling melengkapi dengan fakta sains. Jika dari biologi kita belajar bahwa berbagai spesies adalah sebagaimana adanya sebagai hasil dari determinan biologis, maka mereka yang memiliki filosofi oriental atau native akan harus memutuskan apa nilai operasional dari metafisika mereka. Seberapa jauh pandangan mereka dapat diuji terhadap sains? Seberapa jauh mereka mengklaim tentang relung-relung pada mana sains tidak memiliki akses? Sejauh mana mereka menghasilkan sebuah etika untuk lingkungan?
   
Meskipun karma meyakini bahwa kekuatan moral terjaga melalui reinkarnasi, namun apakah tidak ada sesuatu yang hilang dalam kepunahan? Sebelum sejarah alam evolusioner yang panjang, apakah Tao bisa memberikan cukup penjelasan? Apa yang ingin kita lestarikan untuk masa depan, dan berapa banyak intervensi aktifitas yang diperlukan?
Kritik: Nilai-nilai berbasis sains menantang melalui dialog
   
Ada kemungkinan lain. Pertemuan antara sains dan sistem metafisika bisa membeberkan metafisika yang mengarahkan sains. Sains mungkin perlu berubah. Sains mungkin memiliki agenda metafisika tertanam. Yang bisa berfokus pada beberapa aspek pengalaman dan mengaburkan atau mendistorsi yang lainnya. Sains bisa dipengaruhi oleh keinginan akan kekuasaan dan dominasi; sains juga bisa berfungsi sebagai praksis yang ingin memenuhi rasa dahaga manusia.
   
Begitu juga, pandangan-pandangan tradisional bisa menjadikan sesuatu yang autentik di alam menjadi terasa oleh kita yang mana sains telah mengaburkannya kepada kita, dan kebudayaan-kebudayaan tradisional, yang sensitif terhadap hal ini, bisa terbukti lebih baik dari pada milik kita. Perlu diingat: tidak ada orang yang menjadi lebih buruk karena meningkat kemampuan penerimaannya – baik dengan sains, agama, seni, filosofi, mitos, atau apapun.
   
Sains datang dalam dua bagian: ekosains evolusioner, yang memaparkan bagaimana alam beroperasi; dan sains teknologi, yang memungkinkan manusia untuk membuat inovasi yang cocok dengan kerja alam. Bagian sains yang pertama di atas menjelaskan apa yang menjadi permalahan di alam sedangkan yang kedua memerlukan pertimbangan-pertimbangan tentang perkembangan apa yang semestinya dilakukan. Ini saling terhubung. Apa yang kita yakini tentang dunia akan membolehkan dan membatasi kita dalam memanfaatkannya.
   
Sains telah menemukan komunitas kehidupan di bumi dengan cara yang tidak diketahui oleh kebudayaan-kebudayaan klasik – melalui mikroskop, eksplorasi global, bukti fosil, dan sebagainya. Pengetahuan adalah kekuatan, dan pengetahuan biologi telah mendorong teknologi, perkembangan pertanian, pengendalian organisme penyakit, penurunan mortalitas bayi, memperlama masa hidup, menghilangkan predator, dan eksploitasi sumber-sumber genetik. Kebudayaan telah meledak dengan permintaan yang meningkat terhadap ekosistem. Logika yang mendasari ini adalah bahwa alam yang tidak bernilai bisa ditempatkan pada penggunaan kultural manapun yang kita senangi.
   
Yang terbesar dari nilai-nilai yang berbasis sains adalah penggunaan sumber-daya yang ekspolitatif. Nilai ini didasarkan pada sains teknologi terapan dan pada ekosains evolusioner teoritis yang kelihatannya menyimpulkan baha alam ini pada dasarnya tidak bernilai. Ketiadaan manfaat intrinsik dari alam yang diyakini dan berbagai kemungkinan manfaat intrumental menghasilkan satu kesimpulan: Satu-satunya alaasn untuk konservasi hayati adalah untuk kesejahteraan manusia. Ini kelihatannya pragmatis, bijaksana, berperikemanusiaan. Bahkan ini bisa menjadi etika global untuk melestarikan kehidupan.
   
Meskipun kebudayaan-kebudayaan tradisional tidak memiliki ekologi sebagai sebuah sains, namun mereka memiliki pandangan yang menjadikannya bermakna di dunia ini.
   
Pandangan pembangunan yang memicu hilangnya keanekaragaman hayati di abad ini tidak muncul dari nilai-nilai kultural tradisional, baik klasik atau primitif. Kerugian ini dimulai dengan model-model berbasis sains yang diekspor ke masyarakat tradisional. Kerusakan yang dilakukan dalam kebudayaan primitif dan klasik menjadi redup akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh kemajuan sains, industri dan hal-hal yang terkait dengan teknologi di semua bidang.
   
Sains dapat membantu memberikan visi yang lebih jelas. Kemanusiaan tidak bisa kembali ke ilusi-ilusi dongeng. Dengan menggunakan nilai-nilai tradisional sebagai katalis, kita bisa membuat model Bumi dari ekologi, dan bukan dari fisika, kimia, perhitungan, atau mekanika. Tidak ada model perkembangan yang bisa “benar” dalam hal keadilan interen manusia selama tidak “benar” dalam hal cocok dengan alam. Kita mencapai kesimpulan bahwa kebudayaan tradisional yang dan kebudayaan berbasis sains memerlukan etika lingkungan yang direvisi.

Judul Asli: Science-based versus traditional ethics
Penulis: Holmes Rolston
Tahun:
Sumber:
Kata kunci: sains,tradisional,nilai,kebudayaan,tao

0 comments:

Post a Comment