Contoh-Contoh Kasus Manajemen

Kasus I:
Denny's dan Pelayanan Pelanggan

Di pagi hari tanggal 1 April 1993, sebanyak 21 anggota Pelayanan Rahasia Amerika Serikat tiba di Annapolis, Maryland, untuk mempersiapkan acara pidato presiden Bill Clinton di Akademi Perkapalan Amerika Serikat esok harinya. Sebelum memasang perangkat-perangkat keamanan di akademi itu, rombongan tersebut, yang berseragam lengkap, pergi ke sebuah restoran Denny setempat untuk sarapan. Rombongan ini terdiri dari enam agen keturunan Afrika yang duduk bersama di satu meja, dan seorang supervisor keturunan Afrika yang duduk di meja lainnya bersama agen-agen kulit putih. Setelah semua agen memesan makanan, keenam agen kulit hitam tersebut menyadari bahwa agen-agen kulit putih dan supervisornya telah dilayani sedangkan mereka tidak. Agen Robin Thompson pergi menanyai pelayan tentang pesanan tersebut, dan pelayan mengatakan sedang dipersiapkan. Robin kemudian meminta untuk berbicara dengan manajer restoran lewat telpon. (Agen-agen kulit putih yang duduk di meja-meja lainnya selanjutnya melaporkan bahwa pelayan memberikan pandangan sinis setelah meninggalkan meja agen-agen kulit hitam). Setelah menunggu sejam, agen-agen kulit hitam berdiri untuk segera pergi, lalu berkata apakah mereka ditawarkan satu porsi makanan saja. Mereka menolak makanan tersebut karena tidak ada waktu untuk menyantapnya. “Kami harus pergi ke Roy Rogers (sebuah restoran cepat-saji setempat) dan makan di mobil,” kata salah seorang agen kulit hitam.
   

Pada tanggal 24 Mei 1993, 7 pekan setelah insiden tersebut, keenam agen kulit hitam ini mengajukan sebuah tuntutan perkara berkenaan dengan kerugian moneter dan pidana yang tidak ditentukan. Gugatan ini mengatakan bahwa hak-hak sipil mereka telah dilanggar karena Denny's telah menolak melayani mereka dikarenakan masalah ras. “Ini adalah sebuah kasus klasik dengan beberapa jenis sikap yang berat sebelah,” kata Thompson. Tuntutan perkara ini langsung menarik perhatian media. Dalam CBS Evening News Dan Rather mengulas insiden ini dengan mengatakan bahwa agen-agen kulit hitam ini “melayani negara setiap hari, tetapi mereka tidak bisa dilayani di Denny's.”
   
Denny's, sebuah cabang dari Flagstar, Inc., merupakan sebuah perusahaan nasional yang mengoperasikan 1.487 restoran di seluruh Amerika Serikat. Flagstar didirikan pada tahun 1989 ketika Coniston Partners mengepalai sebuah TW Services yang diambilalih akibat utang. Pada tahun 1992, Kohlberg, Kravis, Roberts & Company membayarkan $300 juta untuk bunga 47 persen dalam Flagstar yang diambil alih, yang memiliki pembayaran sekitar $900.000 per hari. Sekitar 70 persen dari restoran Denny dimiliki oleh Flagstar dan sisanya dimiliki oleh waralaba (franchisees). Berbeda dengan restoran cepat saji seperti McDonald's dan Burger King, Denny's mengoperasikan restoran duduk, sehingga apabila restoran ramai, para pelanggan tidak menunggu secara antrian tetapi menunggu dengan duduk, memesan, dan dilayani.
   
Dalam merespon terhadap tuntutan agen-agen kulit hitam tersebut, Flagstar memerintahkan dilakukan investigasi terhadap insiden ini. Setelah bertanya kepada para karyawan di restoran satu hari setelah gugatan diajukan, perusahaan ini memecat manajer restoran tersebut karena gagal melaporkan kejadiannya. Petugas Flagstar juga membela tindakan-tindakan para karyawannya. Steve McManus, seorang wakil presiden senior yang telah mempertanyakan para karyawan di restoran Annapolis, mengatakan tertundanya pelayanan agen-agen kulit hitam tersebut disebabkan oleh jumlah mereka yang banyak dan beragamnya pesanan mereka, sehingga menunda pekerjaan di dapur. Agen-agen kulit hitam tersebut sangat terganggu oleh lambatnya pelayanan tersebut karena meja mereka adalah meja terakhir yang memesan. Dia mengatakan, “Ini adalah masalah pelayanan, bukan masalah diskriminasi.” Merespon terhadap pernyataan ini, agen-agen kulit hitam tersebut mengatakan bahwa sekelompok pelanggan kulit putih memasuki restoran setelah mereka, memesan, dan langsung dilayani sementara mereka masih menunggu. CEO Flagstar, Jerome J. Richardson mengatakan, “Kami memiliki satu koki, dan dua atau tiga pelayan untuk melayani seluruh pelanggan. Jika mereka mengatakan mereka didiskriminasikan, saya minta maaf. Tetapi menurut saya, tidak ada maksud untuk tidak melayani ras kulit hitam.”
   
Insiden Annapolis bukanlah yang pertama dan terakhir dari masalah-masalah Denny's. “Waktu itu tahun 1993 dan masalah-masalah tertentu tidak seharusnya terjadi. Saya hanya tidak bisa membayangkan mereka tidak mau melayani anak-anak tersebut,” kata Randy Shepard, direktur Paduan Suara Anak Martin Luther King di Virginia yang semua terdiri dari kulit hitam. Shepard mengungkit insiden Juni 1993 dimana 70 anak-anak dan 54 orang dewasa dari kelompok paduan suara mereka kembali ke markas dengan bus Raleigh, Carolina Utara, setelah pertunjukan akhir pekan di Washington D.C. area dan katanya ditolak dilayani di dua restoran Denny. Menurut Shepard, rombongan ini pertama-tama pergi ke restoran Shoney di Woodbridge, Virginia. “Manajer disana mengatakan mereka senang bisa menjamu kami, tetapi mereka akan segera tutup 20 menit lagi, sementara untuk melayani kami diperlukan waktu yang lama,” kata Shepard. “Dia menyarankan kami pergi ke restoran Denny's yang terdekat.” Ketiga bus rombongan kemudian berhenti di restoran Denny di Dale City, Virginia, sekitar jam 11 malam. Shepard mengatakan dia memasuki restoran dan menanyai seorang manajer apakah rombongan mereka bisa dilayani. “Dia berkata tidak bisa melayani kami karena dia tidak memiliki pelayan dan menganjurkan kami ke restoran Denny's yang lebih besar tidak jauh dari restoran itu.” Di restoran Denny's yang kedua, Shepard mengatakan manajer menemuinya di tempat parkir dan juga mengatakan bahwa dia tidak bisa melayani rombongan Shepard. Ada beberapa anak yang keluar dari bus menuju ke kamar mandi restoran, jadi saya melarang mereka,” kata Shepard. Dia menambahkan bahwa restoran ini kelihatannya tidak penuh, dan “mereka kelihatannya memiliki banyak pelayan, dan para pelayan itu sepertinya sudah mulai membersihkan meja untuk menyambut kedatangan kami.” John Jenkins, supervisor kawasan Prince William County, yang otoritasnya mencakup daerah dimana kedua restoran Denny tersebut berada, mengatakan: “Saya rasa mereka mungkin sudah mau tutup. Mereka memiliki rute pelayanan antar-propinsi dan harus mendapatkan bantuan yang cukup untuk melayani pelanggan-pelanggan tersebut,” Jenkins menyuruh menyelidiki kasus ini.
   
Petugas Denny's dan para karyawannya membantah banyak klaim Shepard. “Restoran kami tidak mampu menangani rombongan yang begitu banyak, kami hanya memiliki dua koki dan empat pelayan. Dan saya tidak berprasangka,” kata pelayan Kimberly Marshall, yang merupakan orang kulit putih. Akan tetapi, suaminya, Dennis Marshall, yang merupakan seorang keturunan Afrika, mengatakan “Jika anda terbuka untuk bisnis, anda tidak boleh mengatakan anda tidak bisa melayani orang sebanyak itu. Itu tidak masuk akal bagi saya.” Para pegawai Denny's mengatakan bahwa restoran pertama penuh, restoran kedua setengah penuh dan sopir bus telah “mengisyaratkan bahwa rombongan di luar buru-buru.” Disamping itu, seorang juru bicara perusahaan menyatakan bahwa “di kedua restoran Denny's tersebut, kami telah mempersiapkan pelayanan untuk rombongan besar sehingga dibutuhkan waktu tunggu cukup lama,” tetapi rombongan itu pergi sebelum restoran dapat melayani mereka. Para pegawai Denny's mengatakan bahwa mereka tidak memiliki perlengkapan yang cukup untuk melayani 130 orang dengan seorang staf yang bertugas untuk waktu tidak sibuk yakni jam 11 malam. Para pegawai ini mengakui bahwa manajer di restoran Denny's yang pertama menganjurkan agar rombongan Shephard mencoba pergi ke restoran yang lain, tetapi mereka menambahkan bahwa “dia menawarkan untuk menelpon restoran lain untuk membuat kesepakatan.” Coleman Sullivan, wakil presiden komunikasi Flagstar, mengatakan, “Waktu itu jam 11 malam di hari Minggu, dan manajer kami mengatakan kepada rombongan bus tersebut bahwa akan dibutuhkan waktu yang lama untuk melayani mereka. Tidak ada diskriminasi sama sekali.”
   
Delapan belas bulan setelah terjadinya insiden Annapolis, Departemen Kehakiman telah melakukan investigasi terhadap Denny's dalam merespon keluhan-keluhan dari pelanggan-pelanggan Amerika Afrika di California. Setelah investigasi Departemen Kehakiman membenarkan adanya pernyataan yang tidak didasarkan pada bukti. Denny's dan Departemen Kehakiman terlibat dalam negosiasi untuk menyelesaikan keluhan-keluhan tersebut. Pengacara-pengacara mereka telah merangkum 800 kasus untuk mendorong pihak lainnya untuk melaporkan episode-episode rasisme sehingga memenuhi syarat sebagai sebuah gugatan kelompok. Pada tanggal 24 Maret 1993, sebuah kelompok yang terdiri dari 32 pelanggan berkebangsaan Afrika mengajukan sebuah gugatan kelompok di San Jose yang menyatakan beberapa praktek diskriminasi, yang mencakup:
Sebuah rombongan yang terdiri dari 18 mahasiswa Amerika dari keturunan Afrika dipaksa membayar sewa meja $2 masing-masing dan membayar dimuka untuk pesanan mereka di restoran Denny's di San Jose, California, sedangkan enam mahasiswa kulit putih yang berteman dengan salah seorang mahasiswa kulit hitam itu tidak harus membayar sewa meja atau membayar dimuka untuk pesanan yang diajukan. Menurut perusahaan, walaupun beberapa restoran Denny's dulunya memberlakukan “kebijakan larut malam” yang memerlukan agar semua rombongan yang terdiri dari 10 orang atau lebih untuk membayar dimuka pesanan setelah jam 10 malam sebagai sebuah “tindakan keamanan” untuk mencegah terjadinya pencurian makanan, namun kebijakan ini “tidak diberlakukan secara diskriminatif”.

Sepasang suam-istri dari ras kulit hitam dan putih, Danny dan Susan Thompson, membawa ketiga anak mereka ke restoran Denny's di Vallejo, California, untuk merayakan ulang tahun ke-13 putri mereka Rachel. Menurut gugatan perkara, Denny's menolak melayani Rachel dengan hidangan ulang tahun gratis mereka yang terkenal, meskipun rachel memiliki sertifikat pembaptisan dan identifikasi sekolah. “Saya merasa telah dilecehkan, dihina, dan dipermalukan, sehingga kami tidak jadi makan disana. Saya tidak bisa mengungkapkan bagaimana sakitnya hati anda jika ini terjadi pada anak anda,” kata nyonya Thompson.

Denny's dengan tanpa bukti telah mengancam atau dengan paksa mengeluarkan pelanggan-pelanggan keturunan Afrika dari beberapa restoran California.

Denny's memberlakukan “sebuah kebijakan umum yang membatasi pelanggan kulit hitam,” dengan menggunakan istilah “blackout” untuk mensinyalir pelayan ketika terlalu banyak kulit hitam di dalam restoran. Tuntunan ini juga menyatakan bahwa salah seorang manajer menginstruksikan manajer restoran untuk “mulai menekan dan mengurangi beberapa dari blackout tersebut.” Beberapa manajer Denny's diminta untuk menarik pembayaran di muka atau mengatakan kepada kulit hitam bahwa restoran akan segera tutup.

Ketika seorang karyawan di sebuah restoran Denny's di San Jose, California mengatakan kepada manajer bahwa telur salah seorang pelanggan perlu dimasak ulang, manajer tersebut berkata “berikan telur itu ke kulit hitam, dan jika mereka komplen, suruh datang kemari bertemu dengan saya.”

Gugatan kelompok ini datang hanya 5 bulan setelah penyelesaian kasus diskriminasi kerja terhadap Shoney's, Inc. dengan denda $105 juta, sebuah perusahaan restoran nasional terkemuka lainnya, yang dituduh telah membatasi jumlah karyawan keturunan Afrika di setiap lokasi dan membatasi kulit hitam dengan pekerjaan dapur dengan menghitamkan huruf O dalam lamaran kerja Shoney untuk menunjukkan bahwa pelamarnya adalah ras kulit hitam. Akan tetapi, pengacara-pengacara untuk Saperstein, Mayeda, Larkin & Goldstein, perusahaan hukum yang mewakili penggugat dalam kasus Shoney's dan saat ini sedang melakukan negosiasi untuk menjadi penggugat dalam kasus Denny's, berkomentar bahwa kasus kasus Denny's bisa lebih besar karena terkait dengan pelecehan elemen terpenting dalam bisnis, yakni pelanggan. “Perlakuan seperti ini menimbulkan rasisme yang ekstrim pada tahun 1950an”, para pengacara tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan. Mantan Hakim Pengadilan Tertinggi California, Cruz Reynoso, yang telah dipilih kembali oleh para pemilih California dan sekarang ini menjadi profesor hukum di Universitas California di Los Angeles, mengatakan dia yakin kasus Denny's adalah kasus rasisme “pola dan praktek” pertama dalam 15 atau 20 tahun terakhir yang melibatkan sebuah akomodasi publik utama.
   
Sifat pelayanan di sebuah restoran tergantung berbagai faktor, termasuk kebijakan-kebijakan Denny's, kebijakan dan praktek manajer restoran, dan karyawan restoran. Masalah Flagstar ada dua. Pertama, walaupun perusahaan mendorong waralaba Denny's untuk melakukan tindakan yang bisa diskriminatif, namun perusahaan memiliki kendali yang terbatas terhadap restoran-restoran yang dimiliki secara pribadi. Kedua, penegakan kebijakan-kebijakan yang ada cukup bermasalah karena kebijakan-kebijakan ditujukan untuk berlaku bagi semua pelanggan mungkin berlaku secara diskriminatif karena diri pribadi manajer atau pelayan.
   
Meskipun negosiasi dengan Departemen Kehakiman sedang berlangsung, Denny's mengatasi beberapa dari masalah yang muncul dengan meminta maaf kepada para pelanggan, memecat atau memindahkan karyawan yang mendukung diskriminasi, dan membentuk sebuah tim lintas kultural. “Kebijakan larut malam”, yang telah dikeluarkan untuk mencegah orang-orang yang tidak membayar saat makan, dihentikan di semua restoran, baik yang dimiliki oleh perusahaan maupun yang waralaba. Mr. Richardson mengatakan, “Para manajer memiliki masalah dengan pelanggan yang terkadang keluar dari restoran sebelum membayar. Beberapa meminta pembayaran dimuka, yang bisa menimbulkan masalah ketika tidak diterapkan kepada semua orang. Disamping itu, Flagstar melakukan pertemuan dengan kelompok-kelompok HAM.
   
Dengan semakin memperkeruh masalah, Mr. Richardson, seorang mantan di Baltimore Colts yang telah memulai sebuah restoran hamburger mandiri di Spartansburg, Carolina Selatan, telah 6 tahun bekerja untuk mendapatkan salah satu dari dua waralaba Liga Football Nasional untuk diberi penghargaan di musim gugur 1993. Denny's dan Mr. Richardson telah dikritik oleh Reverend Jesse Jackson dan putranya, yang mengepalai Rainbow Coalition. Mr. Jackson telah ditanya dalam sebuah jumlah pers tanggal 27 Mei, “Apakah ini pertanda awal dari koneksi dan pola olahraga rasisme disini?”

Pertanyaan
1.Apa penyebab terjadinya insiden individual di restoran-restoran Denny's? Apakah karena pelayanan yang buruk? Apa yang bisa ditunjukkan oleh insiden ini? Seberapa serius permasalahan ini?
2.Apa tanggungjawab Flagstar berkenaan dengan insiden-insiden tersebut?
3.Apa peranan yang dimiliki media dan pengacara penggugat dalam isu ini?
4.Apa yang harus dilakukan Flagstar tentang insiden-insiden dan tuduhan-tuduhan ini? Apa yang harus dilakukan Flagstar tentang gugatan hukum tersebut?
5.Kebijakan-kebijakan apa yang harus diadopsi untuk pelayanan pelanggannya dan karyawannya dan bagaimana seharusnya kebijakan ini diimplementasikan? Bagaimana seharusnya dia menangani restoran Denny's yang dimiliki sendiri?

Kasus II
British Petroleum (C): Tanggung Jawab Sosial

Pada bulan Mei 1997, John Browne, Pimpinan Eksekutif British Petroleum, menyampaikan keterangan-keterangan berikut sebagai bagian dari pidatonya di Universitas Stanford:

Dunia yang kita tinggali sekarang ini adalah dunia yang tidak lagi ditentukan oleh ideologi. Tentu saja, warna-warna lama masih menyertai kita . . . . dari kiri menjadi kanan . . . . dari radikal menjadi konsenvatif, tetapi ideologi tidak lagi menjadi penengah akhir dari analisis dan tindakan. Pemerintah, perusahaan dan penduduk semuanya sudah harus menata ulang peranan mereka dalam sebuah masyarakat yang tidak lagi dibagi oleh tirai besi yang memisahkan Kapitalisme dan Komunisme. Era baru menuntut perspektif yang segar tentang sifat-sifat masyarakat dan tanggungjawab. Lewatnya beberapa divisi lama mengingatkan kita bahwa kita semua adalah penduduk di satu dunia, dan kita harus berbagi tanggungjawab untuk masa depan dunia ini, dan untuk pembangunannya yang berkesinambungan.” . . . .    Setahun yang lalu, Laporan Kedua IPCC (Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim) diterbitkan. Laporan tersebut, dan pembahasan sejak dipublikasikannya, menunjukkan bahwa muncul kekhawatiran tentang dua fakta besar, yaitu: konsentrasi karbon dioksida di atmosfer semakin meningkat, dan suhu permukaan bumi semakin meningkat . . . Ada banyak gangguan dalam data tersebut. Cukup sulit untuk menentukan sebab dan akibat. Tetapi sekarang ini telah disepakati oleh para ilmuwan terkemuka dunia bahwa manusia memiliki pengaruh yang tidak tampak terhadap iklim, dan ada hubungan antara konsentrasi karbon dioksida dan peningkatan suhu. . . .
   
Saat untuk mempertimbangkan dimensi kebijakan dari perubahan iklim bukanlah ketika hubungan antara gas-gas rumah kaca dan perubahan iklim benar-benar telah nampak – tetapi ketika kemungkinan tersebut belum dihindari dan dihilangkan oleh masyarakat yang kita semua termasuk di dalamnya. Kami di British Petroleum telah mencapai titik tersebut.

Pidato ini menunjukkan perubahan yang signifikan pada pendirian yang banyak dipegang oleh industri minyak. Meskipun manajemen Royal Dutch/Shell telah mendukung tanggung jawab lingkungan, namun tak satu pun dari perusahaan-perusahaan minyak besar lainnya yang secara jelas mengakui kemungkinan perubahan iklim global. Berbeda dengan itu, perusahaan-perusahaan minyak mempertanyakan dasar munculnya konsensus ini, dengan menyebutkan bahwa penelitian-penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan sebelum pemerintah berupaya untuk membatasi emisi gas-gas rumah kaca.
   
Kata-kata Browne mendapatkan perhatian dan pujian dari para pemerhati lingkungan dan masyarakat publik. Sebagai contoh, Chris Rose, wakil direktur eksekutif Greenpeace, mengatakan, “Saya menduga anda bisa berkata baik atau tidak, mereka dan Perusahaan Minyak Shell, adalah orang-orang baik dalam industri ini.” Akan tetapi, dalam menganjurkan bahwa perusahaan-perusahaan minyak harus menerima tanggungjawab sosial yang lebih besar, Browne secara jelas membuka diri dan BP (british petroleum) bagi tantangan untuk memenuhi standar yang lebih tinggi tersebut.

LINGKUNGAN OPERASIONAL YANG SEMAKIN KOMPLEKS

Isu-Isu Lingkungan
   
Perusahaan-perusahaan minyak pada tahun 1990an dihadapkan dengan pertimbangan-pertimbangan lingkungan. Pemanasan global merupakan salah satunya. Yang lainnya adalah kerusakan ekosistem akibat tumpahan minyak yang tidak disengaja. Sejak terjadi tumpahan minyak Exxon Valdez, telah banyak tumpahan minyak yang terjadi dengan besar yang bervariasi. Antara tahun 1991 sampai 1997, Pusat Respons Nasional di Amerika Serikat mendapatkan pemberitahuan bahwa antara 24.000 sampai 31.000 tumpahan minyak/bahan kimia terjadi setiap tahun. Walaupun kebanyakan dari tumpahan ini tidak dianggap sebagai ancaman lingkungan yang signifikan, namun beberapa diantaranya cukup berbahaya, seperti pada tanggal 12 Januari 1998, penumpahan minyak 1,6 juta galon melalui pipa di pantai Nigeria yang dioperasikan oleh Mobile. Pada bulan September 1997, kebocoran sebuah saluran pipa di pantai California Selatan menyebabkan tumpahan minyak sebanyak 21.000 galon. Minyak ini tumpah pada jarak 8 mil dari pantai dan membunuh lebih dari 120 burung. Pada tanggal 22 Januari 1998, 100.000 galon minyak tumpah dari saluran pipa yang dimiliki Amoco di Teluk Meksiko. Meskipun tumpahan ini tidak pernah mencapai daratan, namun membentuk lapisan minyak sepanjang 4 mil dan beberapa ratus mil luasnya. Tumpahan-tumpahan yang besar seperti ini memiliki ancaman signifikan terhadap ekosistem lokal. Di Inggris, pada bulan Februari 1996, kapal tangki minyak Sea Empress menumpahkan 70.000 ton minyak di pantai Southwest Wales.
   
Meskipun efek tumpahan minyak terhadap ekosistem setempat bisa parah, namun dampak potensialnya cukup kecil jika dibandingkan dengan yang terkait dengan pemanasan global. Beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa produksi karbon dioksida, metana, dan “gas-gas rumah kaca” lainnya oleh manusia bisa meningkatkan suhu antara 1,8 sampai 6,3 derajat Fahrenheit pada tahun 2100. Peningkatan suhu seperti akan sangat meningkatkan level permukaan laut global dan mempengaruhi produksi pertanian di beberapa daerah. Ilmuwan lain mempertanyakan apakah pemanasan global benar-benar terjadi dan apakah aktivitas manusia merupakan faktor pengkontribusi yang signifikan. Ilmuwan-ilmuwan ini menunjuk pada bukti dari satelit-satelit yang menimbulkan pertanyaan apakah ada trend pemanasan.
   
Pemerintah tampak terbagi mengenai isu tentang bagaimana merespon terhadap pemanasan global. Uni Eropa telah mengusulkan pengurangan emisi 15 persen oleh negara-negara maju pada tahun 2010. Sebaliknya, Amerika Serikat justru ingin menstabilkan emisi pada akhir 2012. Negara-negara berkembang pada umumnya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, yang akan meningkatkan emisi CO2. Sebagai contoh, antara tahun 1990 dan 1995, Cina, India, Brazil, dan Indonesia telah meningkatkan emisinya sebesar 20 persen. Meskipun negara-negara berkembang bertangungjawab hanya untuk 15 persen dari CO2 yang dihasilkan secara buatan, namun negara-negara ini diduga berkontribusi sebesar 50 persen bagi emisi global pada tahun 2010.
   
Produsen-produsen minyak utama juga terbagi dalam menanggapi pemanasan global, dan hal ini cukup mirip dengan apa yang terjadi antara pemerintah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pimpinan Exxon dan CEO Lee R. Raymond mengemukakan pendekatan “akal-sehat” untuk mengatasi pemanasan global dan meminta dilakukan penelitian lebih lanjut tentang isu ini sebelum melakukan tindakan-tindakan hukum yang signifikan untuk mengatasi sebuah masalah yang mungkin saja masalah itu sebenarnya tidak ada. Pada sebuah pidato di bulan November 1996 pada pertemuan tahunan di Institut Petroleum Amerika, Raymond menyebutkan bahwa hanya 4 persen dari karbon dioksida di udara yang tidak dihasilkan oleh alam, dan pada Konferensi Petroleum Dunia 1997 di Beijing, Raymond mengatakan, “Masalah-masalah lingkungan yang paling menekan di negara-negara berkembang terkait dengan kemiskinan, bukan perubahan iklim global. Penanganan masalah-masalah ini akan memerlukan pertumbuhan ekonomi, sehingga akan memerlukan peningkatan penggunaan bahan bakar bukan justru dikurangi. Berbeda dengan itu, Chris Fay, kepala produsen minyak Shell UK, berkomentar dalam Konferederasi Industri Barat pada November 1997 bahwa “Shell yakin waktu untuk melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah perubahan iklim mungkin telah tiba.” Pada bulan April 1998, Shell mengikuti BP dengan meninggalkan Koalisi Iklim Global, koalisi industri Amerika Serikat yang melawan tindakan tentang perubahan iklim.

Masalah-Masalah Politik yang Sensitif
   
Disamping kekhawatiran lingkungan yang meningkat selama 1990an, perusahaan-perusahaan minyak menemukan diri mereka semakin terkena masalah karena beroperasi pada wilayah-wilayah yang sensitif dari sisi politik. Setelah embargo minyak pada tahun 1973, perusahaan-perusahaan minyak bergerak untuk mevariasikan cadangan minyak mereka secara geografis. Pada awalnya, diversifikasi ini diterjemahkan menjadi pengeboran yang berekspansi di Laut Utara dan di Alaska, daerah-daerah yang dikendalikan oleh resimen-resimen yang ramah dan stabil dari sisi politik. Akan tetapi, selama akhir 1980an dan awal 1990an, perusahaan-perusahaan minyak terus bergerak ke daerah-daerah yang jauh lebih tidak stabil atau sensitif dari sisi politik di Amerika Latin, Afrika, Eropa Timur, dan Asia.
   
British Petroleum (BP) telah mengalami masalah dalam beroperasi di daerah-daerah politik yang tidak stabil. Area minyak dan gas yang dioperasikan BP di Kolombia terletak di daerah pegunungan berjarak 100 mil ke arah timur laut Bogota. Investasi BP menarik perhatian penduduk setempat, migran pencari kerja, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Guerrila merupakan sebuah masalah yang cukup sulit untuk perusahaan minyak tersebut; sebuah saluran pipa yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan minyak Barat lainnya diserang satu kali setiap 8 hari. Beberapa perusahaan minyak terpaksa membayar uang perlindungan untuk para guerrila tersebut. Para ahli inteligensi militer Kolombia memperkirakan bahwa para guerrila mengumpulkan $140 juta setahun dari perusahaan-perusahaan minyak. BP menolak guerrila tersebut dan memutuskan untuk mendukung rencana keamanan pemerintah. Perusahaan ini membayar “pajak perang” yang berjumlah sekitar 1,24 per barel minyak kepada pemerintah untuk menutupi biaya perlindungan fasilitas pengeboran, saluran pipa, dan personil dari serangan. BP juga menjanjikan tambahan $5,4 juta selama tiga tahun untuk mendukung pasukan Kolombia.
   
Setelah investasi BP, kota setempat ini menjadi sebuah magnet bagi krminal dan prostitusi. BP melakukan berbagai program komunitas dan pertemuan publik dan menghabiskan $8 juta untuk memperbaiki infrastruktur setempat dan menginformasikan para penduduk setempat tentang keinginan mereka untuk eksis lama di kota tersebut. Sayangnya, serangan-serangan, demonstrasi-demonstrasi, dan sabotase telah menghambat operasi, yang sering menjadikan angkatan keamanan pemerintah diadukan ke penduduk setempat dan semakin memicu para guerrila untuk memenangkan opini publik.
   
BP dituduh telah membuat sebuah pasukan pribadi dan memberikan informasi kepada pasukan bersenjata tersebut yang mengarah pada intimidasi dan hilangnya para penduduk setempat serta mereka sangat terpukul. Seorang Anggota dari Parlemen Eropa mendapatkan dokumen-dokumen yang dikatakan membuktikan tuduhan-tuduhan ini dan memulai sebuah kampanye terhadap BP di Britania. Dia juga menuduh adanya pelanggaran-pelanggaran lingkungan. BP menyangkal klaim-klaim tersebut dengan keras, dan hanya mengakui “kesalahan telah dibuat” dalam pengembangan perusahaan untuk area Kolombia. Sebuah investigasi selama setahun yang dilakukan oleh kantor Jenderal Penuntut independen Kolombia – yang dilakukan sesuai permintaan BP – menyatakan bahwa BP terbebas dari keterlibatan dalam pelecehan hak-hak asasi manusia.
   
Rodney Chase, Kepala Eksplorasi BP (BPX) pada saat itu, berkomentar tentang implikasi era informasi dan globalisasi dan tantangan-tantangan yang diberikan bagi perusahaan.

   
Kami sedang bekerja dalam serangkaian lingkungan yang sangat kompleks – dari Alaska hingga Azerbaijan; dari Cina hingga Kolombia. Segala sesuatunya kami lakukan dengan kecermatan yang sangat tinggi. Kami harus berhadapan dengan masing-masing komunitas setempat, berhadapan dengan kelompok-kelompok penekan, dengan media dan dengan politikus. Pada banyak tempat terdapat beberapa ketidakstabilan. Sehingga memerlukan skill yang sangat menyeluruh dari manajemen kami dan tim kami. Jika kami membuat kesalahan kami harus terbuka tentang hal itu dan mempelajarinya.

MENGEMBANGKAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL DI BP

Kebijakan-Kebijakan
   
BP secara historis memiliki reputasi sebagai sebuah perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial. Sebagaimana disebutkan David Gair, wakil manajer unit bisnis di BPX dan karyawan jangka-panjang:

BP adalah sebuah perusahaan terkenal sejak 26 tahun yang lalu. Dia memiliki reputasi yang baik. Yang ada di BP adalah perasaan baik . . . . Yakni dalam bentuk sangat sadar secara sosial . . . . Bagi saya, BP sangat baik dalam bisnis, tetapi juga sangat baik dalam tanggungjawab sosial. Saya berpikir anda kehilangan risiko kedua jika anda ingin mempertahankan yang pertama.

Meskipun dengan adanya sejarah tanggung jawab sosial ini, pidato Browne pada bulan Mei 1997 menandai awal dari fokus baru terhadap lingkungan dan tantangan-tantangan politik yang dihadapi industri minyak pada umumnya dan BP pada khususnya. Pada bulan Maret 1998, BP menerbitkan kebijakan-kebijakan dalam sebuah buku 36-halaman untuk menjadi panduan bagi praktek-praktek bisnisnya. Kebijakan-kebijakan dikodifikasi dalam hal komitmen pada lima bidang yaitu: Etika, Karyawan, Hubungan, Kesehatan, Keamanan dan Lingkungan, dan Finansial dan Pengawasan.
   
Kebijakan tentang Etika mengharuskan perusahaan menghargai aturan hukum setempat, tidak terlibat dalam suap-menyuap atau memegang dana panas, menghindari konflik kepentingan, dan membatasi penggunaan hadiah dan kontribusi politik. BP tidak lebih memilih untuk melakukan pembayaran yang mempermudah, tetapi mereka akan memberikan jika pembayaran seperti ini diperlukan “untuk memenuhi kebiasaan dan praktek setempat” dan ketika pembayaran tersebut “dibahas dengan dan disetujui oleh manajemen setempat senior dan. . . tercatat dalam rekening.”
   
Sasaran Finansial dan Pengawasan adalah untuk memaksimalkan keuntungan pemegang-saham dalam jangka-panjang. Tujuannya adalah untuk mempertahankan sebuah pendekatan yang konsisten, terarahkan kinerja, dan fleksibel terhadap perencanaan keuangan, pengukuran dan pemantauan kinerja, pelaporan finansial, manajemen risiko dan pembuatan keputusan finansial.
   
Nick Butler, Penasehat Kebijakan BP, menyebutkan kebijakan-kebijakan baru sebagai sebuah tahapan logis dalam proses manajemen holistik:

Dia memulai dengan strategi dan struktur serta kejadian-kejadian dan jangkauan global yang terus berkembang dari bisnis ini mengingatkan kami bahwa kami tidak sendiri di dunia ini. Keberhasilan kami tergantung pada pihak-pihak lain yang memilih untuk berbisnis bersama kami. Itu berarti kami harus menyadari ekspektasi-ekspektasi mereka dan memenuhi standar-standar kinerja yang mereka harapkan.

Browne menekankan bahwa emosi-emosi kejadian itulah yang mengarah pada perumusan kebijakan-kebijakan baru ini:

Kami tuduh berperilaku buruk di Kolombia oleh dokumentasi televisi tertentu. Kami lalu menjalani proses sungguh-sungguh yang lengkap dan saya sangat yakin bahwa kami tidak melakukan apa-apa yang harus membuat kami malu. Kami telah berbuat kesalahan, tetapi itu bukan kesalahan yang disengaja dan kami telah mengakuinya secara terbuka. Meski demikian, penuduhan tetap dilakukan dan reaksi emosional cukup intens. Orang-orang di BP bangga dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Tepat pada t1992 [ketika perusahaan telah mengalami kerugiannya yang pertama dalam 80 tahun] ada determinasi untuk menunjukkan bahwa kebanggaan tersebut bukan isapan jempol belaka.

   
Meskipun kebijakan-kebijakan ini berfungsi sebagai panduan untuk berperilaku, manajemen senior di BP sadar bahwa keberhasilan kebijakan ini terletak pada pengimplementasiannya. Sebagai pendahuluan kebijakan tersebut, terdapat kalimat. “Kebijakan-kebijakan ini dibuat dengan sederhana. Tetapi pelaksanaan akhirnya tergantung pada bagaimana kita berperilaku, dalam bagaimana kita berbisnis. . . . “
   
Manajemen senior BP yakin implementasi kebijakan-kebijakan ini adalah tanggungjawab para manajer divisi, dan bukan kelompok staff atau manajemen senior. Untuk kebijakan-kebijakan lingkungan, manajer-manajer divisi bisnis harus membuat keputusan berdasarkan sasaran-sasaran konkrit yang akan dimasukkan ke dalam kontrak kinerja mereka. Contoh-contoh sasaran yang konkret adalah pengurangan emisi hidrokarbon, pembuangan ke perairan, dan flaring.
   
Bagian penting dari komitmen pada level unit bisnis adalah bahwa BP tidak boleh memiliki target atau standar terhadap masalah-masalah lingkungan yang berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Penolakan untuk mengadopsi standar-standar yang spesifik negara atau wilayah terkadang menyebabkan kesulitan bagi BP. Sebagai sebuah ilustrasi, Tony Meggs, seorang pimpinan unit bisnis di BPX, berkomentar tentang kemungkinan bahwa BP mungkin akan segera mengadopsi sebuah kebijakan yang tidak membolehkan flaring:

Jika anda menguji sumur-sumur pengeboran di Afrika, anda mungkin akan menempatkan diri anda pada posisi dimana anda menunda sebuah proyek atau mengeluarkan biaya tambahan yang banyak untuk memastikan bahwa anda memenuhi standar dunia dan tidak menyalakan gas. Ini sebenarnya bisa menyulitkan partner anda dan terkadang pemerintah yang mungkin mengatakan, “Baiklah, sebenarnya, kami perlu mengethaui tentang barang ini dan anda memegang segala sesuatunya dan anda mengeluarkan lebih banyak uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pembayaran-balik.”

Meski demikian, Meggs sangat yakin tentang pentingnya standar-standar dunia:

Mungkin ada beberapa perusahaan dalam industri minyak yang akan [mengadopsi] sebuah kebijakan lingkungan yang spesifik wilayah tertentu . . . Tetapi, saya tidak menganggap bahwa itulah yang kami inginkan lakukan dikarenakan tiga alasan. Salah satunya adalah bahwa ada unsur kemunafikan tertentu. Maksud saya apa yang baik utuk pihak A harus baik untuk pihak B, dan  [dengan memiliki kebijakan yang lebih lunak di sebuah negara yang mau mentolerir sebuah kebijakan seperti ini] menunjukkan sikap tidak respek tertentu. Kedua, saya menduga bahwa pada akhirnya itu akan kembali menghantui anda. Dalam dunia dengan keseksamaan aktivitas yang semakin meningkat berdasarkan basis global, jika anda melakukan sesuatu di sebuah negara asing yang anda tidak suka lakukan di negara sendiri, yakni [sebuah masalah yang ditunggu akan terjadi]. Dan ketiga, saya rasa bahwa dari perspektif karyawan, yakni sesuatu yang tidak disukai seseorang. Saya rasa orang-orang memiliki sifat alami untuk mencoba melakukan hal yang benar, sangat sulit merubah hal yang benar dari satu tempat ke tempat lainnya karena mereka adalah karyawan yang sama yang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Pada tahun 1997, tujuan-tujuan konkret pada tingkat unit bisnis terwujud dalam tiga target untuk seluruh BP. Target pertama adalah pengurangan emisi udara, limbah, dan air secara keseluruhan per unit produksi. Target kedua adalah pengurangan emisi hidrokarbon sebesar 165.000 ton pada tahun 2001. (Jumlah 165.000 ton mewakili sekitar setengah level emisi hidrokarbon pada tahun 1995). Target ketiga adalah pengembangan sebuah pengukuran penilaian emisi karbon dioksida yang berterima secara umum.

Fungsi Staf yang Baru
   
Disamping perumusan tujuan-tujuan konkret untuk manajer-manajer divisi, BP membuat sebuah fungsi staf baru yang disebut sebagai Regions & Policies, yang dikepalai oleh seorang direktur manajemen. Chris Gibson-Smith menjelaskan pekerjaannya ini sebagai berikut:
   
Tugas saya adalah mendukung penyaluran bisnis dalam kondisi-kondisi yang semakin sulit, pertama-tama dengan memastikan kami mendapatkan hal-hal mendasar yang tepat – agenda keuangan dan tanggungjawab sosial dan lingkungan – dan yang kedua, mengembangkan keahlian yang jauh lebih maju dalam sebuah dunia komunitas setempat yang berpolitik, LSM, teroris, komunikasi global, dan kepentingan publik yang tinggi.
   
Dibawah sistem baru ini, Direktur Manajemen Regions & Policies akan didukung oleh tujuh Direktur Regional. Smith menjelaskan tanggungjawab dari tim Regions & Policies.

Memikirkan implikasi kebijakan dan bagaimana seseorang bisa mematuhinya di seluruh perusahaan dunia akan menjadi sesuatu yang kami lakukan pada segenap perusahaan – dengan mendefinisikan standar, dan penemuan program. Kepatuhan terhadap kebijakan-kebijakan ini akan diserahkan dalam pelaksanaannya. Salah satu peranan kami adalah bahwa integrasi, mengejar dan membantu mengembangkan kinerja yang membaik melalui integrasi. Sehingga dalam hal ini, membantu ini semua terjadi secara simultan tanpa duplikasi kompleks adalah salah satu cara untuk berkontribusi. Dan pada akhirnya . . . kami juga bertanggung jawab untuk penyaluran asuransi ke bada utama perusahaan . . . . asuransi berarti bahwa kami telah mendapatkan hak-hak dasar, yang dipahami oleh orang-orang, yang terpatri dalam hati mereka dan dengan demikian dipatuhi dalam ribuan keputusan yang dibuat setiap hari.

Di masa lalu, kontrak kinerja manajemen hanya terkadang merujuk pada tujuan-tujuan lingkungan dan sosial spesifik. Staf Region & Policies bekerja untuk mengembangkan dan membakukan aspek kontrak ini, yang bertujuan untuk memperkenalkan sebuah paket target yang lengkap dan baku untuk siklus kinerja tahun 1998. standar-standar juga diperkenalkan dalam prosedur-prosedur otorisasi kapital sehingga BP akan bersungguh-sungguh terhadap semua proyek modal yang baru. Tentu saja, ada kesulitan dalam pengukuran. Meskipun beberapa isu-isu lingkungan atau keamanan bisa diukur dengan mudah, namun isu-isu yang terkait dengan hubungan, etika, atau karyawan lebih sulit.
   
Gibson-Smith tidak memperkirakan koflik serius antara sasaran finansial dan sasaran sosial/lingkungan. Ketika BP mulai mengencangkan prosedur-prosedur keamanannya dan memadukannya dengan sistem penguuran kinerja, mereka menemukan bayak peluang untuk meningkatkan keamanan disamping mengurangi biaya. Dengan cara yang sama, ketika pertimbangan-pertimbangan pemerintah diatasi, mereka menemukan “empat atau lima tahun opsi untuk pengembangan signifikan yang memberikan biaya sangat sedikit atau menguntungkan sangat sedikit bagi kami.”

BP Solar
   
Sebuah komponen penting dari upaya BP untuk menjadi lebih bertanggung jawab secara sosial adalah pengupayaan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan – BP Solar International merupakan salah satu perusahaan terkemuka dunia yang mengembangkan dan membuat peralatan generator bertenaga surya. Pada tahun 1997 BP Solar memiliki 10 persen pasar dunia dalam bidang energi surya. BP solar menjual produk-produknya di lebih dari 60 negara. Perusahaan ini telah membuat fasilitas-fasilitas di Amerika Serikat, Spanyol, Australia, dan India, dan dua fasilitas perakitan di Saudi Arabia dan Thailand. Produk-produk BP Solar cukup banyak mulai dari panel surya yang digunakan memanaskan air dalam rumah sampau proyek “turnkey” besar yang dikomisikan oleh pemerintah nasional. Contoh terbaru adalah kontrak senilai $30 juta dari pemerintah Filipina untuk memasang lebih dari 1000 sistem surya terpaket di 400 kampung terpencil.
   
Komitmen BPS terhadap energi surya tidak biasanya dalam industri. Jika dibandingkan, Exxon menghilangkan portofolionya tentang proyek-proyek energi terbaharukan di tahun 1980 dan menjual unit suryanya pada tahun 1984.

Diferensiasi produk dan Branding
   
Sejalan dengan instruksi-instruksi organisasi yang dilakukan, manajemen BP memberlakukan persepsi merek sendiri BP. Lee Edwards, salah satu asisten eksekutif Browne yang pada tahun 1998 bernama Manajer Merek BP, berkomentari tentang kemungkinan-kemungkinan untuk diferensiasi dalam industri.

Untuk sebuah bisnis seperti ini, tidak ada banyak diferensiasi dalam hal kualitas produk – dalam pikiran konsumen satu galon bensin [dari perusahaan lainnya] sama saja, walaupun banyak pelaku pasar “bermerek” yang memasukkan deterjen dan aditif lain pada terminal distribusi. Tidak ada banyak diferensiasi dalam hal harga. Lalu dimana letak kompetisi, dan bagaimana sifat kompetisi yang ada? Pilihan konsumen berkaitan dengan persepsi mereka tentang perusahaan dari mana mereka membeli. Dan jika kami . . . dilihat sebagai perusahaan yang relatif buruk, yakni memiliki catatan buruk dalam beberapa area yang menjadi pertimbangan konsumen, kami bisa kehilangan, dalam hal posisi kompetitif yang relatif.

BP kelihatannya cenderung pada ide bahwa hubungan merek BP dengan tanggungjawab sosial dan lingkungan bisa menjadi sumber manfaat yang kompetitif. Tanpa adanya sarana yang bersih lainnya bagi pelanggan untuk membedakan antara produk-produk perusahaan minyak, persepsi konsumen tentang tanggug jawab dalam area non-pasar bisa mempengaruhi pemilihan produk.

Memasuki Perdebatan Kebijakan Publik
   
Perubahan terakhir pada BP adalah persepsi pada sebagian manajemen senior bahwa komitmen BP untuk tanggungjawab sosial harus diperluas melewati batas-batas perusahaan. Pidato di Stanford tentang perubahan iklim adalah upaya BP yang pertama untuk memasuki perdebatan. Browne mengikuti ini ketika dia berbicara tentang isu hak asai manusia di Council on Foreign Relations di New York pada bulan November 1997.
   
Keterlibatan dalam debat publik tidak terbatas pada Amerika Serikat. Gibson-Smith berpartisipasi dalam sebuah konferensi penting tentang kebijakan lingkungan di Cina dan Afrika Selatan, dimana BP telah lama menjadi faktor penting dalam pengembangan ekonomi pasca-apartheid. Browne mengadakan meeting dengan Presiden Nelson Mandela dan menterinya di Inggris. Browne juga sering kontak dengan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Browne juga mengunjungi Presiden Bill Clinton di Amerika Serikat untuk membahas perubahan iklim dan berbicara di Royal Society di London tentang peranan bisnis dalam dunia sains.
   
Manajemen di BP terasa sangat kuat sehingga kegagalan untuk mengatasi isu-isu kebijakan publik merupakan ancaman jangka-panjang bagi industri ini: “Saya rasa isu-isu ini memiliki implikasi publik yang akan menjadi lisensi untuk beroperasi. Kami harus menghindari politik-politik partai tetapi tidak bisa dan tidak boleh harus menghindari proses kebijakan,” kata Butler. Salah satu kekhawatiran adalah bahwa industri minyak akan menjadi “industri tembakau selanjutnya,” sebuah target mudah untuk para pengkampanye dan bukan sebuah peluang kerja yang menarik. Butler mengakui bahwa ada ketidakakuratan dalam persepsi industri minyak:

Industri ini masih dianggap sebagai yang besar, monopoli, kotor, bergaya lama, sedangkan pada kenyataannya industri ini sangat kompetitif dan tidak monopolistis, dan merupakan industri yang paling  dikendalikan teknologi selain IT dalam hal perangkat keras perlengkapan dan perangkat lunak – keahlian dan pengalaman staf kami . . . Saat ini – di musim semi 1998 – kami harus merespon terhadap 30 persen pengurangan harga minyak yang terjadi dalam tahun terakhir. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa kami melakukan itu tanpa berimbas pada staff. Kami sedang berkembang dan memerlukan semua anggota yang kami miliki. Kami harus menyebarkan informasi – karena pada saat ini kami dipahami sebagai bagian dari masalah pada waktu dimana pekerjaan menjadi isu kebijakan gobal yang paling penting.

Browne juga berbicara berkenaan dengan agenda yang belum terselesaikan:

Kami telah membuat beberapa kemajuan – dalam hal kinerja finansial, pembelajaran, dan agenda publik. Tetapi perjalanan kami belum berakhir. Bentuk ekonomi dunia terus berubah sehingga menghasilkan banyak peluang dan opsi baru bagi kita. Perbaikan kinerja jangka pendek memungkinkan kita untuk mengambil perspektif jangka panjang. Kami merupakan perusahaan yang sedang tumbuh dalam sebuah sektor yang sedang berkembang. Saya tidak mengharapkan industri ini tetap sama dalam waktu 10 tahun, dan tidak juga pasar atau lingkungan sosial dan politik. Ini bisa sangat menarik.


PERTANYAAN-PERTANYAAN

1.Apakah kebijakan BP tentang tanggungjawab sosial perusahaan cocok untuk sebuah perusahaan minyak? Apakah perlu?
2.Bagaimana seharusnya kebijakan ini diimplementasikan? Bagaimana kinerjanya sebaiknya diukur?
3.Apakah daya saing BP akan dipengaruhi oleh kebijakan baru yang dibuatnya?
4.Apakah komitmen BP terhadap tanggung jawab perusahaan menyebabkan para pengguna kendaraan bermotor lebih memilih bensin yang diproduksi BP?

Kasus III:
LEVI STRAUSS & CO: PANDUAN-PANDUAN SOURCING GLOBAL

Pada tahun 1990-an, Levi Strauss & Co. (LS&CO) telah menjadi sebuah pabrik pakaian yang baru muncul yang sangat besar. Sebagian besar kesuksesannya terkait dengan keputusan-keputusan seksesnya untuk menuju dunia global pada pertengahan tahun 1960-an dan untuk menambahkan merek-merek baru dari pakaian-pakaian yang sederhana hingga merek tradisional untuk jeansnya. Pertumbuhan penjualan yang cepat dari produk-produk sederhana, dan juga biaya yang kompetitif dari industri pakaian sederhana, mengakibatkan perubahan bauran sourcing LS&CO. Selama tahun 1991  LS&CO memiliki hampir 700 kontraktor luar, kebanyakan dari Asia dan Amerika Latin. Perubahan ini memunculkan sebuah dilema untuk Peter Jacobi, presiden  LS&CO, dan manajemen senior lainnya mengenai sourcing global. Hubungan  LS&CO dengan supplier asingnya telah difokuskan pada kualitas dan pengiriman serta tidak dengan kisaran yang berbeda antara isu yang dialamatkan pada pemiliknya dengan fasilitas operasinya.  Eksekutif-eksekutif LS&CO takut akan image perusahaan yang baru muncul dan reputasinya untuk standar-standar etika yang tinggi yang dapat melukai melalui gengsi bisnis kontraktornya.

Latar Belakang Perusahaan dan Tingkah Laku Etis
   
Pada tahun 1850 di San Francisco, Levi Strauss memulai menyuplai penambang emas di Northern California dengan barang-barang kering yang disuplai oleh rekanannya dari Pesisir Timur. Pada tahun 1873, dia dan Davis Jacob, seorang tukang jahit yang kepadanya dia menjual kanvas dan denim, mulai menjual celana panjang denim warna biru dengan keling kuningan dengan corak yang telah dipatenkan pada bagian kantongnya. Jeans pertama (style 501) adalah produk unggulan LS&CO selama lebih dari satu abad.
   
Pada tahun 1960-an,  LS&CO mulai menambahkan produk-produk lain untuk merek jeans aslinya, termasuk pakaian fashion, aksesories, dan pakaian anak-anak. Selama tahun 1993 LS&CO merupakan tahun munculnya manufaktur pakaian yang baru di dunia yang sangat besar dengan penjualan 5,9 Juta Dollar Amerika.  LS&CO mendesain, membuat, dan menjual pakaian untuk pria, wanita, dan anak-anak yang mencakup jeans, slacks, jaket, rok, dan lain-lain.
   
Sejak didirikannya, LS&CO telah dipimpin oleh Levi Strauss dan keturunannya. Perusahaan ini dimiliki oleh keturunan-keturunan Levi Strauss dan pada pekerja sampai tahun 1971, ketika perusahaan menyentuh publik untuk membiayai pertumbuhan domestik dan internasionalnya yang cepat. Akan tetapi anggota keluarga menguasai kira-kira 50% dari stok yang terkenal. Pada tahun 1985, perusahaan kembali menjadi swasta melalui sebuah pembelian yang disebabkan utang. Perusahaan ini dibutuhkan oleh kolega Levi Strauss, Inc., sebuah perusahaan holding yang diciptakan oleh anggota keluarga Haas dan eksekutif LS&CO yang semata-mata bertujuan meningkatkan kontrol dari perusahaan. Pada tahun 1992, dewan direktur dari kolega Levi Strauss mencakup lima anggota keluarga.

LS&CO secara mendalam memperkenalkan etika pelaksanaan bisnis itu sendiri. Pembatasan perusahaan pada etika dimulai dengan Levi Strauss dan dilanjutkan dengan anggota keluarga dan karyawan perusahannya. Perusahaan memiliki sebuah kode etik seperti sebuah kumpulan prinsip-prinsip etika yang dengannya karyawan memimpin diri mereka sendiri. Kode menyatakan bahwa nilai etika perusahaan didasarkan pada empat elemen:

Sebuah komitmen untuk kesuksesan komersial dalam hal yang lebih tinggi daripada hanya pengukuran finansial.
Sebuah penghormatan untuk karyawan, supplier, pelanggan, konsumen, dan stokholder kita.

Sebuah komitmen untuk memimpin tidak hanya legal tetapi juga adil serta secara moral benar dalam sebuah pengertian yang fundamental.

Penghindaran tidak hanya konflik yang nyata, tetapi juga dari munculnya konflik kepentingan.
   
Dari elemen-elemen ini dibagi prinsip-prinsip kerja keras perusahaan sebagai berikut : kejujuran, menepati janji, keadilan, menghormati yang lain, belas kasih, dan integritas.

Konsekuensi-Konsekuensi dari Perubahan-Perubahan dalam Strategi Pasar
   
Peter Jacobi mengambil alih posisi presiden untuk sourcing global (untuk pasar U.S) pada tahun 1988 dan bertanggungjawab untuk semua fasilitas-fasilitas yang dimiliki dan dioperasikan seperti mengontrak yang ada di Amerika Serikat dan luar negeri. Jacobi sangat terkejut dengan dua fakta. Pertama karena perluasan sourcing campuran yang telah berubah hanya beberapa waktu pada awal dimulainya. Sepanjang tahun 1970-an, LS&CO memperoleh semua pabrik produksi domestiknya yang kebanyakan berasal dari produsen tekstil Amerika Serikat, dan manufaktur yang dilakukan dengan fasilitas-fasilitas yang dimiliki dan dioperasikan, yang dilengkapi oleh dua kontraktor independen yang semata-mata memproduksi untuk LS&CO dan melalui sejumlah kontraktor lainnya jika diperlukan. Pada tahun 1980-an, LS&CO memperluas merek produknya untuk pakaian casual dengan merek dagang DOCKERS. Produk DOCKER merupakan salah satu merek yang paling cepat pertumbuhan dan kesuksesannya di industri pakaian Amerika Serikat. Walaupun jeans dan produk yang berkaitan dengan jeans masih terhitung sekitar 72% dari penjualan total di seluruh dunia, produk casual telah menjadi sebuah sumber penting yang mengalami peningkatan dari penghasilan pasar di Amerika Serikat.
    Sebagai hasil dari strategi bisnis globalnya, jaringan sumbernya diperluas dengan cepat, khususnya untuk merek casualnya. Kontraktor dari luar negeri sangat kompetitif dalam hal biaya untuk pakaian casual. Sebenarnya, saham cukup besar dan sangat meningkat dari penjualan pakaian di Amerika Serikat yang diproduksi di Asia dan Amerika Latin. Antara tahun 1991 dan 1992 saham pakaian LS&CO yang diproduksi oleh kontraktor independen dan dijual di Amerika Serikat melonjak dari 35% menjadi 54%.
   
Kejutan kedua untuk Jacobi adalah beberapa praktek bisnis dari kontraktor luar negeri. Pertumbuhan sourcing luar negeri berarti bahwa hubungan dengan kontraktor tidak sedekat ketika LS&CO berhubungan dengan kumpulan supplier kecil dan stabil, yang menghitung sebagian besar dari produksinya. Dalam banyak kasus, perusahaan tidak menyadari kebijakan-kebijakan kontraktornya mengenai kondisi bekerja, kesehatan dan keselamatan, HAM, dan perlindungan lingkungan.
   
Jacobi dan eksekutif senior lainnya memulai mengunjungi pabrik-pabrik luar negeri pada tahun 1990. Mereka menemukan bahwa kontraktor-kontraktor sebagian besar mengarahkan dengan tekanan, yang halus dan kasar, untuk mengurangi biaya. Banyak dari kontraktor ini menyuplai perusahaan pakaian lainnya disamping untuk LS&CO dan karena industri pakaian sangat kompetitif, kontraktor dengan biaya terendah yang paling attraktif. Beberapa firma pakaian menggunakan ancaman supplier ranting untuk memaksa kontraktor mengurangi biaya-biaya.
   
Lebih penting lagi, Jacobi menemukan bahwa pemahaman umum di kalangan kontraktor adalah mengurangi biaya dengan cara bagaimanapun – dan hal ini sering berarti mengorbankan pekerja. Sebagai contoh, seorang kontraktor terkemuka di Kosta Rika memiliki sebuah kebijakan memecat wanita ketika mereka menikah. Alasan kontraktor adalah bahwa wanita akan secepatnya menjadi hamil dan dia akan harus membayar untuk bayi dan biaya lainnya, dengan demikian akan menambah biayanya.
   
Jacobi menyimpulkan bahwa para manajer LS&Co lokal mengevaluasi praktek-praktek kontraktor dengan membandingkannya dengan praktek-praktek lokal dan bukan bukan dengan prinsip-prinsip dasarnya. Walaupun beberapa praktek lokal bisa sesuai untuk beberapa perspektif, Jacobi bertanya, “Bagaimana jadinya kalau karema 60 menit muncul pada pintu pabrik?” Tanpa mempertimbangkan apakah LS&CO memiliki pabrik-pabrik tersebut, dia yakin bahwa perusahaan akan tetap akuntabel bagi publik apapun yang terjadi disini.
   
Bob Dunn, wakil presiden untuk usaha korporasi, memiliki perasaan was-was yang sama. Informasi sekarang sudah mengglobal, sehingga apapun yang terjadi dimanapun di dunia akan ada secara instant dimanapun. Dengan demikian, apapun aktivitas yang dijalankan LS&CO dimanapun di dunia ini, secara potensial akan dibuka untuk penelitian cermat publik.
   
Hal ini memiliki signifikansi potensial untuk image baru perusahaan. Kemunculan LEVI’S merupakan salah satu aset perusahaan yang paling berharga. Konsumen-konsumen terkait image positif Amerika dengannya, seperti kebebasan dan individualisme Barat Tua. LS&CO percaya bahwa konsumen yang membeli produknya untuk alasan di atas dan diluar kualitas dan modelnya, dan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan perusahaan akan melukai reputasinya dan menodai image mereknya.

PERKEMBANGAN PEDOMAN SOURCING GLOBAL

Pada musim semi tahun 1991, manajemen senior merapatkan SGWG (Sourcing Guidelines Working Group) untuk merumuskan sebuah kebijakan untuk menuntun hubungan perusahaan dengan supplier asingnya. LS&CO dipuji dengan kebijakan tanggungjawab social korporasinya, dan perusahaan yang menginginkan semua itu menjadi konsisten dengan kebijakan tersebut. Perusahaan memperkenalkan bahwa “produk lebih dari sekedar produk.” Produk tersebut juga merupakan merek LEVI’S. Persepsi-persepsi konsumen terhadap merek dapat dipengaruhi oleh praktek bisnis dan reputasi korporasi.

PENDEKATAN DENGAN MEMBERI ALASAN YANG BERPRINSIP

Untuk membantu dalam perumusan kebijakan etis, LS&CO telah mengembangkan sebuah proses yang merujuk pada PRA (Principled Reasoning Approach). PRA didesain “….. untuk melindungi melawan musuh dalam selimut, kepentingan pribadi, dan kelayakan, serta untuk memastikan konsistensi dan keadilan dalam pengambilan keputusan” dimana pertimbangan etis dilibatkan. Hal tersebut diperlakukan seperti framework SGWG untuk merumuskan pedoman sourcing global. PRA terdiri atas enam langkah: masalah, prinsip-prinsip, stakeholder, solusi, konsekuensi, dan implementasi. Semua tahap harus dilakukan, tetapi proses menjadi fleksibel apabila tidak ada permintaan khusus yang ditentukan. Tahap dapat diulangi dan dievaluasi berdasarkan nformasi baru.

SGWG mengembangkan dua pernyataan masalah yang berbeda. Pertama, “permintaan apa yang seharusnya kita miliki untuk partner bisnis yang terkait dengan manufaktur/penyelesaian produk bermerek Levi Strauss dan CO?” Kedua, “dalam kondisi apa Levi Strauss & CO, sebuah perusahaan global, tidak akan mempertimbangkan sourcing pada beberapa negara?” SGWG juga harus memutuskan apa yang dimaksud “partner”. Apakah partner mencakup subkontraktor yang sama dengan kontraktor? Dan sejauh mana ikatan suplai akan diaplikasikan?

SGWG harus menentukan prinsip etis mana yang relevan dengan permasalahan yang ada. Prinsip-prinsip etis diuraikan oleh LS&CO (kejujuran, menepati janji, keadilan, menghormati orang lain, belas kasihan, dan integritas) yang terbentuk menjadi dasar-dasar untuk semua pengambilan keputusan perusahaan dan semua hal itu tercakup di dalamnya. Akan tetapi prinsip-prinsip tambahan dapat ditambahkan, dan SGWG memilih lima: tanggungjawab sosial korporasi, kepemimpinan global strategis, kesetiaan, kesuksesan komersil, dan menghormati perbedaan budaya.
   
Stakeholder didefinisikan sebagai beberapa orang, kelompok, atau suatu kesatuan yang secara signifikan atau secara material dipengaruhi oleh isu dengan pertimbangan tertentu. Pertama-tama SGWG harus mengidentifikasi stakeholder yang relevan, internal dan eksternal perusahaan. Stakeholder, sebentar-sebentar diinterview oleh anggota SGWG pada seluruh proses, dan SGWG menaksir perluasan untuk tiap kelompok stakeholder yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.

SGWG mengidentifikasi kumpulan perbedaan stakeholder untuk tiap dua pernyataan yang berbeda. Untuk istilah partner bisnis, daftar stakeholder internal untuk LS&CO terdiri dari karyawan yang membuat keputusan sourcing, kelompok pedagang, pemegang saham, manajemen kepala, karyawan-karyawan pabrik yang dimiliki dan dioperasikan, lisensi dan gabungan, personel sourcing global, dan semua karyawan LS&CO pada umumnya. Kumpulan stakeholder eksternal untuk perusahaan mencakup kontraktor-kontraktor luar (pemilik dan manajemen), para karyawannya, komunitas pabrik dan pemerintah lokal, supplier, organisasi kepentingan publik, (misalnya serikat pekerja, kelompok gereja, kelompok lingkungan), dan lingkungan. Untuk seleksi negara, SGWG memilih stakeholder internal yang sama, walaupun SGWG menghilangkan personel sourcing global dan menambahkan karyawan pendukung operasi (yang melakukan kunjungan ke negara-negara untuk melakukan inspeksi, evaluasi, kunjungan penggilingan, dsb). Stakeholder eksternal untuk LS&CO meninggalkan pengecualian yang sama bahwa warga negara dari negara kontraktor menggantikan kelompok kepentingan masyarakat.
   
SGWG kemudian mengembangkan solusi-solusi alternatif untuk dua permasalahan yang telah disikapi dan teruji solusinya menghadapi prinsip etis untuk melindungi konsistensi pilihan dengan prinsip-prinsip yang ada. Menyangkut keinginan partner bisnis, SGWG mencoba untuk menyelesaikan dua permintaan yang bersifat konflik dan fundamental. Salah satunya perlu menspesifikkan setidaknya standar minimal untuk partner bisnisnya, sebagai contoh, dalam praktek perekrutan dan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Yang lainnya pengenalan untuk sistem etika dan budaya yang beragam di seluruh dunia. Usaha untuk mengamanahkan sesuatu yang sama untuk standar Amerika Serikat demi ketenangan dunia akan menjadi tidak dapat berfungsi dan tidak bijaksana. SGWG mencoba untuk menemukan keseimbangan.
   
Seleksi negara meningkatkan pertanyaan yang sulit untuk SGWG karena konsepnya revolusioner. Secara umum orang-orang mengerti bahwa jika seorang kontraktor melakukan sesuatu yang besar, hubungan akan menjadi terganggu, akan tetapi pada awalnya belum jelas bagaimana hal ini dapat diaplikasikan pada sebuah negara. SGWG dengan mudah setuju bahwa LS&CO seharusnya tidak terlibat pada sebuah negara jika LS&CO tidak dapat melindungi merek dagangnya atau jika berada disana dapat merusak reputasi mereknya. Konsensus ini diputuskan untuk menggunakan Deklarasi Universal sebagai definisi HAM dan disimpulkan bahwa perusahaan seharusnya tidak mencari sumber-sumber di negara yang memiliki pelanggaran yang “buruk” atasdasar-dasar HAM.
   
SGWG mulai menguji konsekuensi-konsekuensi dari pedoman sourcing globalnya segera setelah hal tersebut disetujui pada draf-draf pekerjaan untuk tiap kompenen. Sebagai contoh, didiskusikan bagaimana hubungan yang rusak dengan kontraktor yang memiliki praktek mempekerjakan di bawah standar dapat membiayai pekerja terbaik untuk pekerjaan mereka ketika kontraktor-kontraktor tersebut bergantung pada LS&CO untuk bekerja. Apalagi, pelanggaran HAM pada sebuah negara dapat menyebabkan hilangnya kontraktor-kontraktor yang bekerja pada LS&CO. SGWG harus mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi negatif ini yang bertentangan dengan konsekuensi-konsekuensi positif seperti sebuah perlindungan kesan merek dan pemberian honor untuk tanggung jawab sosial korporasinya.
   
Untuk mengimplementasikan solusi tersebut, SGWG menyimpulkan akan harus melakukan audit berkala untuk partnernya. Untuk kriteria seleksi negara, SGWG harus menentukan siapa yang akan membuat keputusan seleksi dan apa kriterianya.
   
Pada februari 1992, pedoman sourcing gobal yang lengkap dipresentasikan kepada manajemen kepala, yang selanjutnya meratifikasi pedoman tersebut pada bulan itu. Ketentuan-ketentuan perjanjian ditunjukkan Gambar 21-3 dan pedoman untuk seleksi negara diperlihatkan pada Gambar 22-1.

IMPLEMENTASI PEDOMAN SOURCING GLOBAL

Perkembangan Audit Partner Bisnis
   
Ketika pedoman sourcing global diumumkan secara resmi dan langkah pertama implementasinya dimulai pada Maret 1992, SGWG belum mengembangkan prosedur formal untuk audit perusahaan. Insiden di Saipan (Bab 22) dianggap sebagai sebuah pemicu untuk perkembangan sebuah instrumen audit.
   
Putaran pertama audit adalah mengenai kontraktor penjahitan dan pelitur. Sebelum melakukan pengenalan audit, LS&CO mengirimi setiap kontraktor sebuah kopian dari penuntun dengan surat yang menjelaskan apa yang mereka maksudkan dan mengapa hal tersebut menjadi penting. Hal ini dapat mncuri hati para kontraktor dengan meminta auditor bertemu dengan mereka untuk mendiskusikan beberapa hal yang membuat khawatir. Sekelompok kontraktor memprotes, akan tetapi seperti yang dinyatakan Bob Dunn “ini menandakan bahwa mereka bukanlah tipe orang yang kita akan berbisnis dengannya”.

Banyak kontraktor yang terbuka dengan audit-audit. Beberapa diantara mereka telah bekerja dengan LS&CO sebelumnya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi mereka. Mereka telah menemukan bahwa menerapkan standar kualitas disiplin perusahaan akan membuka peluang-peluang untuk pekerjaan yang lebih dari perusahaan lainnya: jika mereka dapat menerapkan standar-standar LS&CO, mereka dapat bekerja untuk semua orang di industri. Kontraktor-kontraktor ini percaya bahwa mengakomodasi panduan sourcing global akan memberikan manfaat yang sama.

Pada masa perkenalan audit, 70% kontraktor ditemukan sesuai dengan panduan, 25% ditemukan membutuhkan beberapa perbaikan, dan 5% lainnya dikeluarkan.

Audit Negara

Pada awal musim semi tahun 1992, lebih dari 50 negara yang melakukan bisnis dengan LS&CO dievaluasi. Seperti penerapan istilah perjanjian, perusahaan harus mengembangkan prosedur audit untuk Negara-negara. Eksekutif pengusaha korporasi memutuskan bahwa audit Negara akan fokus pada dua kriteria mendasar: stabilitas politik dan sosial dan HAM. LS&CO ingin memastikan bahwa personil dan asset-aset perusahaan tidak ditangani dengan ketidakstabilan. Apalagi standar pervasif pelanggaran HAM membutuhkan defenisi dari “perpasif.” Untuk menilai apakah terjadi pelanggaran pervasif, urusan-urusan perusahaan menganalisa perbandingan Negara, dengan menggunakan data dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat dan organisasi-organisasi HAM. Tidak semua Negara mendapatkan perhatian yang sama dalam evaluasinya, dengan Negara-negara yang memiliki praktek HAM yang diragukan atau instabilitas politik yang mendapatkan penelitian cermat yang lebih dekat. Negara-negara dengan catatan yang baik diuji dengan kurang kritis.

Burma merupakan Negara pertama yang dievaluasi, dan merupakan yang paling jelas. Sourcing didukung di burma disebabkan karena pelanggaran pervasif HAM. Kolombia, Guatemala, Indonesia, dan Sri Lanka, merupakan Negara dengan praktek HAM yang diragukan, dimana semua diakui untuk sourcing setelah evaluasi. Penilaian HAM juga dilengkapi untuk Negara-negara dimana investasi LS&CO mungkin ada di masa yang akan datang. Sourcing didukung di Peru disebabkan karena instabilitas politik. (proses keputusan dari tinjauan partisipasi LS&CO di China dijelaskan pada bab 22 kasus Levi Strauss & Co di China.)

Bekerja Untuk Meningkatkan Kebiasaan Kontraktor

Kealamiahan dan besarnya perkembangan membutuhkan berbagai kontraktor dan Negara secara acak yang cukup besar. Pada beberapa kasus, LS&CO memerlukan peningkatan fasilitas. Sebagai contoh, di meksiko, seorang kontraktor ditemukan memiliki sebuah ancaman kebakaran karena pabriknya hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar. Pada republik Dominikan, sebuah pabrik memiliki loteng bahaya terbuat dari tripleks yang dipasang secara potensial untuk mengakomodasi lebih banyak pekerja. Beberapa kontraktor membutuhkan ruang istirahat yang lebih saniter, seperti adanya kotak P3K dan pemadam api. Pada kasus yang lain, LS&CO memerlukan praktek-praktek bisnis kontraktor untuk berubah. Di Bangladesh, dua kontraktor ditemukan mempekerjakan tenaga kerja anak. Sekitar 5% dari tenaga kerja di pabrik ini berumur di bawah 14 tahun.
Sebagai akibatnya, LS&CO tidak akan membayar perkembangan fasilitas kontraktornya. Pada waktu yang bersamaan, LS&CO yang mengetahui kebakaran, menjatuhkan sanksi pada kontraktornya. Pengeluaran-pengeluaran oleh kontraktor untuk mengakomodasi LS&CO mempengaruhi kompetitifnya biaya mereka dan dengan demikian, attraktif mereka untuk pabrik pakaian yang lainnya sama baiknya. Untuk beberapa kontraktor yang LS&CO merupakan pelanggan utamanya, mereka percaya bahwa LS&CO memiliki tanggung jawab khusus. Jacobi mencatat: “tantangan untuk kita, dan saya benar-benar menginginkan ini, bukan untuk mengeksploitasi hubungan itu, karena anda dapat mengeksploitasinya ketika anda menjadi bagian besar dari bisnisnya (seorang kontraktor) yang dia kurang pengaruhi.” Dengan demikian, LS&CO akan sering bernegosiasi tentang solusi bersama dengan kontraktornya. LS&CO menggunakan tiga jenis solusi: penerimaan harga kontraktor yang lebih tinggi, memberikan pinjaman kepada kontraktor, dan jaminan tingkat spesifik dari pembelian sehingga seorang kontraktor dapat dipercaya bahwa investasinya dalam perkembangan selanjutnya akan berguna.
   
Tanpa bisa dihindari, Panduan Sourcing Global akan diterjemahkan sebagia biaya produksi yang lebih tinggi, dan ini bisa merugikan LS&CO dari segi biaya relatif terhadap para pesaingnya. LS&CO belum memasukkan beberapa produk di pasar yang akan dimiliki, telah kehilangan beberapa bisnis serta margin profit. Sebagai contoh, Burma adalah sumber termurah dan terbesar untuk pakaian kausal, dan mentransfer kerja ke negara-negara lain akan menghasilkan peningkatan biaya produksi.
   
Akan tetapi, para pegawai LS&CO meyakini bahwa dengan hanya melihat pada biaya-biaya langsung tidak menunjukkan gambaran keseluruhan” . . . Ini tidak tidak menjelaskan apa-apa tentang kualitas celana, biaya pekerjaan ulang dan reparasi, reliabilitas pengiriman, fleksibilitas kontraktor, waktu kerja yang diperlukan untuk mendapatkan barang-barang yang dikirimkan, dan berapa banyak waktu manajemen yang perlu diawasi. “Konsep tentang apa saya sebut sebagai “loncatan antara pulau” - yang berarti bahwa anda berpindah dari kontrak ke kontrak berdasarkan biaya – benar-benar tidak efisien dan sangat tidak produktif dari segi biaya.”
   
Para eksekutif LS&CO merencanakan keperluan akan hubungan yang lebih dekat dengan para penyuplai. Mereka menemukan bahwa ketika kontraktor perlu membuat perubahan signifikan atau investasi dalam bisnis mereka, beberapa hubungan jangka panjang substansial diperlukan. Untuk mengembangkan hubungan0hubungan ini, suplai harus didisttribusikan para kontrak lebih kecil sehingga kontraktor merasakan sebuah rasa investasi di LS&CO. Jacobi mengatakan, “Harapan saya adalah bahwa hubungan terbaik adalah dimana ada saling percaya, dimana hubungan kerja antara LS&CO setempat, anggota dan kontraktor lokal berlangsung sedemikian rupa sehingga kontrak tidak diperlukan.” Ini memberikan hubungan yang sama kepada LeviStrauss & Co. seperti yang ditemukan dengan para kontraktor Amerika Serikat sebelum pembuatan jaringan sourcingnya yang global.

PERTANYAAN-PERTANYAAN

1.Haruskah LS&Co memberikan tanggung jawab untuk praktek-praktek kontraktornya? Apakah dengan melakukan ini menunjukkan adanya paternalisme?
2.Berapa besar biaya yang dimiliki oleh Panduan Sourcing Global bagi LS&Co? Seberapa jauh rantai suplai ke bawah dimana panduan ini harus diberlakukan?
3.Evaluasilah kecocokan Persyaratan Keterlibatan dan Panduan untuk Seleksi Negara. Apakah sesuai atau tidak? Jika ada, apa yang harus ditambahkan?
4.Evaluasilah pendekatan LS&Co untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya.
5.Apakah jawaban anda tergantung pada fakta bahwa perusahaan ini dimiliki secara pribadi dan dikendalikan keluarga? Haruskah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh negara mengadopsi Panduan Sourcing Global LS&Co.

0 comments:

Post a Comment